Minggu, Maret 01, 2009

Sendiri

Matahari pagi mulai memasuki celah-celah jendelaku. Matahari yang kian bersinar membuat hari-hari menjadi indah dan bermakna. Aku Rasti, seorang mahasiswi desain grafis di salah satu universitas swasta di Jakarta. Aku punya keluarga yang harmonis. Setiap hari keluargaku menyempati untuk bersama. Aku bangga sekali dengan keluargaku. Aku punya keluarga yang selalu mengerti dan demokratis dan juga beragama. Walaupun hidupku sederhana tapi aku merasa hidupku selalu indah dan lebih dari kesederhanaan yang aku punya.

Rutinitas hari-hariku, seperti biasa pagi-pagi berangkat ke kampus untuk memenuhi kewajibanku sebagai seorang mahasiswi. Dan pulang pada sore hari. Begitulah kegiatan ku! Bila libur aku menyempatkan waktu luang untuk keluarga dan teman-teman. Tapi bukan untuk pacar. Karena aku memang tak punya seorang yang spesial dalam hidupku, setelah dua tahun pisah dengan kekasihku. Dulu aku berpikir hidup ini indah bila ada seorang hadir di sampingku tapi nyatanya aku lebih senang, nyaman, indah bila yang menemaniku adalah keluarga dan teman-teman terbaikku. Mungkin aku juga egois mengapa aku tak pernah membuka hati ini untuk seseorang dan tak pernah untuk mencoba menerima seseorang lagi. Dan aku berpikir, hal itu mungkin akan bahagia sesaat karena perjalanan hidupku masih panjang. Oleh karena itu, saat ini aku hanya ingin menyenangkan keluarga ku dulu, sampai pada waktunya aku harus membuka hati ini kepada orang yang sangat tepat.

Tahun demi tahun berganti dan dilalui bulan yang terus berganti, dan searahnya jalannya waktu. Aku menjalani hidup dengan semua rutinitas. Sampai pada akhirnya seorang temanku bertanya.

“Uda hampir lebih dari dua tahun tapi kok lo masih ga mau membuka hati untuk sesorang lagi sih! Ras, semua orang ga sama. Mereka mempunyai sifat yang beda, mungkin pada waktu itu lo dipisahkan karena memang bukan jodoh yang Tuhan kasih buat lo. Lo jangan pernah berpikir semua laki-laki itu sifatnya sama, Ras.”

Ketika aku mendengar petuah-petuah dari teman-temanku. Aku memang menyadari betapa egoisnya aku.

Sampai suatu saat, aku mencoba nasehat-nasehat yang teman-teman aku berikan. Ketika itu, aku lagi makan sendirian di salah satu fast food terkenal. Hari itu memang full sekali, maklum hari itu adalah hari libur. Aku menempati meja untuk dua orang. Sebenarnya aku di situ bukan bermaksud untuk berkencan atau bertemu khusus untuk seseorang. Tapi memang aku ingin makan di luar dan sendirian saja.

Hujan lebat terus mengguyur daerah Bekasi. Aku menikmati spaghetti yang harumnya sudah menggoda perutku sambil melihat hujan turun di luar sana. Di saat aku memandang keluar, seseorang menyapaku meminta agar ia bisa duduk di depanku karena memang tempat yang disediakan sudah terisi.

“Maaf, boleh saya duduk di sini?”

“Oooh, boleh kok boleh. Silahkan,” jawab aku dengan terbata-bata.

Aku tercengang melihat laki-laki itu. Langsung dia memperkenalkan dirinya. Dan menyodorkan tangan kanannya yang bergelang hitam putih ke hadapanku.

“Aku Ran, kamu siapa?”

“Aku Rasti,” jawabku cepat. Dan secepat aku melepas tanganku dari genggamannya.

“Maaf ya sebelumnya, aku tadi ga melihat tempat dulu jadi langsung aja aku pesan makanan, kirain aku masih ada tempat lagi. Eeeh, ternyata ga ada,” cerita Ran. “O ya, tapi tempat ini emang ga da yang nempatin kan? Atau memang kamu lagi menunggu seseorang ya? Maaf kalo iya, aku juga hanya sebentar kok. Kalau teman kamu sudah datang aku akan pergi,” tambah Ran.

“Oh ga kok! Aku emang lagi sendiri aja,” jawab singkat aku.

Entah mimpi apa aku semalam. Hari itu ada laki-laki tampan menghampiriku. Sempat ku mencuri pandang melihat wajah dia tanpa sepengetahuannya. Pertemuan itu cukup singkat, tapi entah mengapa, aku merasa ingin bertemu lagi dengannya. Perkenalan kita memang lancar-lancar aja, penuh canda tawa seperti sudah berkenalan lama saja. Sampai makanan kita sama-sama sudah habis, obrolan terus berlanjut.

Hujan sudah mulai mereda. Dan segera aku akhiri pertemuan itu karena aku harus cepat-cepat pulang karena masih banyak tugas kuliah yang belum diselesaikan.

”Sorry, kayanya hari ini obrolan kita sampai di sini dulu deh. Aku mau pulang karena masih banyak banget tugas yang harus diselesaikan! Kamu habis ini ga da kegiatan lagi?” tanya Rasti.

”Ga ada kok, habis ini aku langsung pulang. Oh iya, ga apa apa Ras, kamu pulang aja, selesaikan tugasnya yah! Hati-hati di jalan!” jawab Ran dengan senyumannya.

”OK. Thanks!” Kuraih tas ku yang ada di meja dan langsung meninggalkan foodcourt tersebut. Belum sampai pintu keluar, terdengar suara yang memanggilku.

”Tunggu Ras!” teriak Ran sambil melambaikan tangannya.

Duh, apa lagi sih nih. Ngapain dia manggil aku lagi. Apa ada barangku yang ketinggalan, pikirku dalam hati.

”Mmm, Ras, boleh ga bareng sampe parkiran?” tanya Ran dengan tersipu malu.

”Ya ampuun Ran, kirain aku kenapa. Ya boleh lah. Yuk, sekalian. Aku juga mau ke parkiran”.

Akhir pertemuan itu, ada sesuatu yang terlupa olehku. Aku lupa meminta nomer telepon agar bisa berhubungan lagi. Tapi apa mau dikata, ia sudah pergi jauh dari hadapanku. Aku hanya berharap bertemu dia lagi.

Hatiku juga merasa aneh, kenapa begitu cepat aku merasakan getaran ini. Getaran yang sudah hampir dua tahun, aku tak merasakannya. Apa aku segampang ini menyukai seseorang? Ataukah ini adalah love at first sight? Entahlah aku tak tahu. Aku hanya menjalani saja perasaan ini. Kalau memang dia untukku, aku yakin pasti dipertemukan kembali. Kalau tidak, ya sudah. Pertemuan itu menjadi sebuah kenanganku di kesendirian tengah derasnya hujan.

Lagi-lagi rutinitas membuatku lupa akan segala hal yang dahulu terjadi. Aku pun mulai melupakan peristiwa singkat itu. Aku hanya ingin menjalani hidup ini dengan lurus-lurus saja. Bila memang aku sudah waktunya diberikan jodoh sama Tuhan, pasti aku tak akan mengelaknya.

Tidak ada komentar: